Sabtu, 30 Januari 2010

Emosional Nomor Satu, Intelektual Nomor Dua, Benarkah...?

 
[lumayan panjang]

Mungkin sudah sering dengar kecerdasan intelektual dan emosional, bahwa kecerdasan intelektual itu lebih ke arah akademik, dan kecerdasan emosional lebih ke arah sosial.

Mungkin juga sudah bosan tentang hasil penelitian bahwa yang menentukan kesuksesan itu yang lebih memegang peran adalah kecerdasan emosional, bukan intelektual.

Saya juga sudah bosan, tapi kenyataan itu seolah tidak adil.

Kenapa yang pintar secara emosional saja yang "kemungkinan besar" sukses. Kenapa yang pintar intelektualnya, yang sudah susah-susah disekolahkan dari playgroup sampai sarjana, tapi emosionalnya kurang, seolah "divonis" untuk tidak bisa sukses...?

Daripada bingung menyesali bawaan genetik yang lebih berat ke kecerdasan intelektual, akhirnya saya mencoba untuk melihat dari sudut pandang begini...

Pertama kita lihat kecerdasan intelektual dan cara mengasahnya. Kita tahu ada banyak media untuk mengasah intelektual kita: SEKOLAH. Dan tentunya kita tahu ada jenjang-jenjang dalam sekolah itu.

Pertama SD, pelajarannya gampang-gampang. Lalu SMP, mulai susah. Lalu SMA, lumayang susah. Dan kuliah makin susah.

Kalau kita perhatikan, tingkat kesulitannya semakin bertambah. Demikian juga yang diharapkan dari kecerdasan intelektual kita, yaitu semakin terasah seiringbertambahnya jenjang pendidikan.

By default, dengan bertambanhnya usia maka semakin tajam pula intelektual kita...

Apa indikator kita berhasil mengasah kecerdasan intelektual kita? Gampang, ada nilai, atau ranking kelas, atau danem. Banyak. Semua orang ditargetkan mendapat nilai tinggi, yang menandakan kecerdasan intelektualnya tokcer...

Namun untuk sampai di sana, jerih payah orang berbeda-beda. Ada yang setengah mati belajar, tapi tetep ngga bisa mengerjakan ulangan/ ujian.

Tapi ada juga yang pada waktu akan ulangan bilang "Aduh, gimana nih kemarin ngga baca buku??" tapi ulangannya lebih mending daripada yang belajar...

Itulah yang disebut bawaan/ genitas/ bakat kecerdasan seseorang. Orang yang berbakat dalam kecerdasan intelektualnya akan lebih mudah mencapai target yang diinginkan secara akademik.

Kalau dia ditanya bagaimana cara agar mendapat nilai bagus, mungkin dia sendiri juga tidak tahu alasannya. "Aku otomatis ngerti, nggak tahu kenapa," mungkin itu jawabannya.

Itulah orang yang berbakat secara intelektual....

Sekarang kita lihat orang yang berbakat secara emosional dan cara ia mengasahnya. Analoginya mirip sama orang intelek tadi.

Sekolah, bagi orang-orang sosial, adalah lingkungan sekitar dan manusianya. Mereka belajar dari pengalaman mereka berhubungan dengan orang lain.

Semakin bertambah usia mereka, semakin terasah pula kecerdasan emosionalnya. Dapat dianalogikan dengan "naik kelas" ke jenjang yang lebih tinggi (tapi kita tidak tahu jenjangnya karena tidak ada tolak ukur pasti tentang kecerdasan emosional, jadi agak susah mengukurnya).

Yang jelas, orang yang berbakat di kecerdasan emosional akan semakin matang jiwa sosialnya seiring bertambahnya umur mereka. Sama seperti kecerdasan intelektual.

Kalau mereka ditanya kenapa bisa sangat peduli pada sesama, bisa diberi tanggung jawab, atau punya banyak teman, mungkin mereka dengan enteng menjawab "lho, ya nggak tahu. Beteman aja kok repot... Ngga usah dipikir lah, nggak ada rumusnya..."

Begitulah orang yang berbakat secara emosional.

Nah sekarang kembali ke permasalahan. Kenapa seolah-olah orang intelek tapi tidak berjiwa sosial "divonis" untuk susah jadi orang sukses? Kenapa takdir seolah tidak berpihak kepadanya?

Kenapa ia diberi kecerdasan intelektual, bukan emosional, kalau tahu bahwa kesuksesan hanya milik orang-orang yang dulunya ia sepelekan di sekolahan?

Jawabannya begini. Sebenarnya kita punya dua kecerdasan itu. Hanya, kita diberi bakat untuk lebih condong ke satu sisi.

Sisi yang kita condongi itu lebih banyak kita beri makan/ dilatih.

Orang intelek berlatihnya di sekolah. Bagaimana ia berlatih? Dengan baca buku, dengan latihan soal, dengan menghapal... Dia mempelajarinya secara tekun dan kontinu, dimana kalau ia berhenti maka berhenti pula perkembangan intelektualnya.

Sama seperti itu. Kita hanya perlu melatih kecerdasan sosial kita dengan lingkungan sekitar. Kalau tidak mau, berarti kecerdasannya mentok di kecerdasan sosialnya anak SD, yang maunya menang sendiri dan manja-manja.

Nggak akan berkembang ke taraf anak SMP, SMA atau perguruan tinggi yang mungkin sudah bisa menumbuhkan rasa empati pada sesama dan tahu seni lihai mencari teman atau mempengaruhi orang.

Begitu juga sama orang yang berjiwa sosial tapi ingin dapat juara kok nggak bisa-bisa. Sama saja. Latih saja kecerdasan intelektualnya, caranya kurang lebih sama seperti kita sekolah.

Ikuti saja alurnya. Pelajari yang lebih mudah baru mencoba yang susah. MULAI DARI LANGKAH KECIL. Setelah itu, langkahkan lagi dengan irama yang sama, sederhana, namun terus-menerus.

Syukuri tiap langkah yang berhasil diraih. Jangan berharap satu langkah kecil akan berhasil hebat. Langkah kecil yang terus-meneruslah yang akan berhasil hebat nantinya.

Yang pasti, jangan pernah berhenti belajar. InsyaAllah kita akan "naik kelas dan dapat ranking" dengan sendirinya, aamiin... :)

ilustrasi: divorcediscourse.com

0 comments:

Posting Komentar